Belajar Kerendahan Hati dari Bali

Tiap orang menapaki jalan yang berbeda di kehidupan ini. Kehidupanku berbeda dengan kehidupanmu, begitu pula hidupmu dengan hidup orang lainnya. Tiap langkah dalam hidup kita akan berjumpa dengan orang lain, bekerjasama dalam menyusuri jalan hidup yang kebetulan sama tapi sesaat. Selebihnya, itu adalah hidup kita sendiri. Kita penentu arah perjalanan kita.

Filosofi hidup pun sama. Banyak orang yang memiliki motto berbeda, namun tak jarang pula yang sama. Motto mungkin boleh sama tapi tidak dalam perspektif berbeda. Berbicara soal pandangan hidup, Indonesia kaya akan falsafah itu. Salah satunya Bali.

Berbicara tentang falsafah hidup orang Bali sungguh menarik. Leluhur orang Bali telah mewariskan suatu pandangan adi luhur pada generasi penerusnya akan makna kerendahan hati. Mengajarkan generasi penerus Bali untuk tidak sombong, tetap berkarya tanpa mengharapkan sanjungan atas hasil yang diperoleh juga tidak terlalu memikirkan hujatan yang diterima. Intinya: tetap berusaha

Pandangan hidup yang paling terkenal dan banyak mengilhami spirit kehidupan di Bali, menurut saya, adalah filosofi yang ada di dalam pupuh (tembang) Ginada.

Pupuh Ginada
Eda ngaden awak bisa
Depang anake ngadanin
Geginane buka nyampat
Anak sai tumbuh luhu
Ilang luhu ebuk katah
Yadin ririh
Liu enu pelajahang


Dalam Bahasa Indonesia:
Pupuh Ginada

Jangan merasa diri bisa
Biar orang lain menilai apa
Jika diandaikan seperti kegiatan menyapu
Selalu ada sampah
Habis sampah masih ada debu
Walaupun pintar
Masih banyak yang perlu dipelajari


*Bisa disini memiliki persamaan dengan pandai, pintar atau mampu melakukan sesuatu.

Kearifan lokal Bali mendidik generasi penerusnya untuk tetap rendah diri, tidak mabuk akan kesuksesan yang diraih. Dalam melakukan suatu kerja, bekerja dengan sungguh. Tanggapan orang lain tentang baik buruknya pekerjaan--tentu saja pekerjaan yang positif--yang kita lakukan jangan sampai menghalangi kita untuk mencapai hasil yang terbaik dalam kerja itu.

Sungguh luar biasa, walau filosofi ini terbentuk jauh puluhan tahun silam tapi tetap menjadi nafas kehidupan di Bali. Meski arus modernisasi deras memasuki Bali, Generasi muda Bali kini masih tetap mampu mendalami warisan leluhur mereka lewat pendidikan Bahasa Bali dan kegiatan metembang.

Akhir kata, semoga ulasan tentang filosofi hidup masyarakat Bali ini bisa menambah khasanah pedoman hidup anda dan besar harapan dari penulis, filosofi ini kiranya bisa menjadi pegangan hidup untuk tidak sombong dan tetap rendah diri di atas segala pujian yang ada dan tetap berusaha di tengah anggapan remeh orang lain.
Read More..

Lebih Baik Pulau Seribu Pura daripada Seribu Hotel

Jauh dari Bali bukan suatu halangan bagi saya untuk kehilangan informasi peristiwa di Bali. Dari banyak berita di dunia maya tentang Bali, topik tentang pengaturan tata kota di Pulau Dewata muncul ke permukaan. Sebagai pulau kecil yang makin padat penduduk memang sudah sepantasnya tata ruang Bali menjadi perhatian serius masyarakat lokalnya.

Pulau Bali boleh dicap sebagai daerah tujuan wisata utama di Indonesia sekaligus menjadi barometer pariwisata Indonesia. Apalagi dengan dinobatkannya Bali sebagai pulau terbaik di dunia tahun 2009 versi majalah Majalah Pariwisata Internasional Travel dan Leisure, tentu membuat pariwisata Bali makin menjadi primadona. Hal ini memicu prospek investasi pariwisata yang cukup menjanjikan di Pulau Seribu Pura ini. Banyak dibangun Hotel-Hotel, pusat spa, toko-toko dan sejumlah sarana penunjang pariwisata lainnya di sini.

Beberapa tahun belakangan ini, pembangunan sarana pariwisata menjadi tak terkendali. Kondisi ini merusak alam Bali. Banyak tempat-tempat yang dulunya wilayah publik menjadi terprivatisasi. Dari wilayah pegunungan, ambil contoh, wilayah Pancasari di Kabupaten Buleleng dan wilayah Kintamani di Kabupaten Bangli kondisinya memprihatinkan. Daerah pegunungan Bali yang seharusnya menjadi daerah penyerapan air justru menjadi tempat berdirinya hotel-hotel. Air tanah yang tersimpan di dalamnya disinyalir juga tereksploitasi oleh pihak hotel. Dampaknya bisa dilihat pada sedimentasi yang parah, mengecilnya volume air yang berimbas pada pendangkalan di Danau Buyan (Pancasari-Buleleng).

Di dalam beberapa Kota besar di Bali, ambil contoh Denpasar, serasa sumpek. Pohon peneduh berganti menjadi bangunan niaga. Polusi asap kendaraan dan juga daerah aliran sungai yang memprihatinkan. Karena prospek ekonomi yang cukup menjanjikan banyak terjadi arus pendatang ke Bali dan umumnya terpusat di sekitar kota Denpasar. Implikasinya, lahan pertanian di pinggiran kota Denpasar beralih fungsi menjadi blok-blok perumahan. Di pesisir tidak kalah parahnya. Terjadi abrasi, banyak pantai yang ngelalami privatisasi oleh beberapa hotel serta sampah yang menumpuk terlebih lagi ketika musim badai.

Yang lebih memprihatinkan dengan pesatnya arus pariwisata, masyarakat lokal Bali hidup konsumtif. Banyak sawah yang dijual untuk kepentingan pariwisata. Begitu mudah orang menjual tanah ke investor tapi ke sesama penduduk lokal justru banyak perhitungan. Tanah untuk kepentingan sosial-contohnya untuk membangun krematorium bagi umat Hindu-susah di dapat namun tanah untuk cafe sangat mudah di jumpai. Daerah pesisir pantai yang sering dipergunakan sebagai tempat upacara keagamaan mulai terbatasi.

Dimana implementasi konsep adiluhung Bali? Apakah konsep Tri Hita Karana yang sudah sejak dulu menjadi nafas masyarakat lokal Bali menjadi terkikis? Konsep palemahan-menjaga hubungan baik dengan alam-seakan akan hanya diatas kertas dan menjadi kebanggaan palsu. Lebih menggelikan lagi jika konsep ini menjadi daya memikat wisatawan jika pada akhirnya tata ruang Bali carut marut.

Jika kondisi ini terus dibiarkan, banyak pertanyaan yang perlu dijawab:
1. Akankah subak sebagai kearifan lokal Bali, warisan leluhur tentang pengairan tetap ada?
2. Akankah tersedia air bersih 10 tahun mendatang?
3. Akankah upacara agama tetap bisa dilakukan di pesisir pantai?
4. Akankah kejerihan danau Bali bisa diamati lagi?
5. Akankah Bali tetap menjadi Surga Dunia karena keindahan alam dan budayanya?

Untuk menjawab semua pertanyaan tersebut, sudah sepantansnya pihak pengambil kebijakan di Bali mulai memperhitungkan tata ruang Bali. Tidak hanya jangka pendek namun juga jangka panjang. Jangan hanya mementingkan sisi ekonomi dan tenaga kerja tapi juga tentang Lingkungan HIdup Bali. Pengambil kebijakan jangan mau didikte investor. Saatnya orang Bali yang menetukan nasib Pulaunya. Kepada semua masyarakat Bali juga hendaknya turut berkontribusi.

*mungkin salah satunya dengan menulis seperti saya ini Read More..